Konvergensi Media dan Regulasi Komunikasi: Menimbang Ulang Demokrasi di Era Digital Indonesia

Oleh: Hendro Siswanto*
Pendahuluan: Transformasi Media di Era Konvergensi
Perkembangan teknologi informasi telah menggeser lanskap media secara radikal. Konvergensi media yakni integrasi antara media cetak, penyiaran, dan digital melalui infrastruktur internet tidak hanya menciptakan efisiensi distribusi, tetapi juga memusatkan kekuasaan pada segelintir aktor dominan. Dalam Critical Political Economy of the Media (2014), Jonathan Hardy menjelaskan bahwa konvergensi bukan sekadar kemajuan teknologi, tetapi sebuah proyek ekonomi-politik yang memperkuat kekuasaan korporasi media besar dan menyempitkan ruang demokrasi.
Kapitalisme Media dan Kekuatan Politik: Siapa Mengontrol Informasi?
Hardy menyoroti bahwa aktor-aktor dominan dalam industri media global seperti konglomerat media, perusahaan telekomunikasi, hingga platform digital seperti Google dan Meta telah membentuk struktur baru yang disebut sebagai digital capitalism. Di dalamnya, informasi diperlakukan sebagai komoditas, dan keberagaman suara digantikan oleh logika keuntungan dan kepentingan politik pemilik modal.
Di Indonesia, fenomena ini dapat dilihat dari dominasi beberapa grup media besar seperti MNC Group (HT), EMTEK (Elang Mahkota Teknologi), dan CT Corp. Mereka tidak hanya memiliki saluran TV nasional, tetapi juga mengontrol media daring, aplikasi berita, bahkan e-commerce dan fintech. Konsentrasi kepemilikan media ini berisiko tinggi terhadap pluralisme informasi. Apalagi menjelang momen politik penting seperti Pemilu 2024 dan Pilkada serentak, media kerap menjadi alat kampanye terselubung yang membentuk opini publik secara tidak netral.
Regulasi yang Tertinggal: Antara Sensor dan Kekosongan Hukum
Kondisi ini semakin rumit ketika regulasi komunikasi di Indonesia belum berkembang secepat konvergensi medianya. UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002 tidak mencakup layanan OTT (Over-the-top) dan platform digital, padahal saat ini masyarakat lebih banyak mengakses informasi melalui media daring dan media sosial. Upaya revisi UU Penyiaran justru memicu kritik karena dinilai berpotensi membatasi kebebasan pers dan kontrol editorial atas konten kreator independen.
Sementara itu, UU ITE yang digadang-gadang menjadi payung hukum di ranah digital, justru menjadi alat represif. Banyak kasus warga yang dikriminalisasi karena unggahan di media sosial, menunjukkan bahwa regulasi saat ini lebih mengedepankan pengendalian ketimbang perlindungan terhadap kebebasan berekspresi. Ini bertolak belakang dengan prinsip yang diajukan Hardy: bahwa regulasi komunikasi harus menjamin keseimbangan antara kepentingan pasar, negara, dan hak publik.
Media Sosial dan Algoritma: Bentuk Baru Kontrol Informasi
Konvergensi media juga menciptakan bentuk baru kendali informasi melalui algoritma. Apa yang muncul di beranda media sosial kita tidak lagi ditentukan oleh redaktur, tetapi oleh sistem otomatis yang dikendalikan oleh korporasi global. Dalam konteks Indonesia, ini tampak jelas saat isu-isu penting seperti korupsi, pelanggaran HAM, atau kebijakan publik tersingkir oleh konten hiburan atau kampanye politik berbayar yang direkayasa secara algoritmik.
Fenomena filter bubble dan echo chamber memperparah situasi ini, di mana masyarakat hanya terpapar pada informasi yang menguatkan keyakinan mereka sendiri. Dalam jangka panjang, hal ini mengancam kemampuan publik untuk berdiskusi secara rasional dan demokratis.
Menuju Regulasi yang Demokratis dan Partisipatif
Mengacu pada kerangka kerja Hardy, Indonesia perlu merumuskan ulang arah kebijakan komunikasinya. Regulasi harus dilandaskan pada prinsip demokratis, yaitu:
- Transparansi kepemilikan media, agar publik tahu siapa yang berada di balik narasi informasi.
- Pembatasan konsentrasi media, guna mencegah monopoli suara.
- Perlindungan terhadap jurnalisme independen dan konten kreatif, bukan sebaliknya.
- Partisipasi masyarakat dalam merumuskan kebijakan media, termasuk melalui penguatan lembaga seperti KPI dan Dewan Pers.
Tanpa itu, konvergensi media hanya akan menjadi sarana konsolidasi kekuasaan oligarki digital dan kapitalisme media, alih-alih menjadi wahana penguatan demokrasi.
Penutup: Saatnya Publik Melek Media dan Hukum Komunikasi
Konvergensi media bukan lagi isu teknis, melainkan persoalan strategis bagi masa depan demokrasi Indonesia. Masyarakat harus didorong untuk tidak hanya menjadi konsumen pasif, tetapi juga aktor kritis dalam ekosistem informasi. Pemerintah, akademisi, dan media harus bersinergi menciptakan kerangka hukum komunikasi yang adaptif, adil, dan berpihak pada kepentingan publik.
Sebagaimana dikatakan Jonathan Hardy, media yang sehat adalah cermin demokrasi yang hidup. Kini, tantangannya adalah bagaimana menjadikan konvergensi media sebagai peluang, bukan ancaman bagi kebebasan dan keadilan sosial di Indonesia.
*Penulis merupakan mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Comments (0)