Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Ikuti Kajian Fikih Transisi Energi yang Berkeadilan

Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Ikuti Kajian Fikih Transisi Energi yang Berkeadilan
MOSAIC, GreenFaith Indonesia, dan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menggelar Kajian dengan tema 'Fikih Transisi Energi Berkeadilan' secara daring, Sabtu (24/5).

TVMU.TV - “Sebagai khalifah di bumi, kita tidak hanya diminta beribadah, tetapi juga memelihara ciptaan-Nya,” seruan ini bukan sekadar kutipan, melainkan ruh yang menggerakkan alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah dalam menggali nilai-nilai Islam untuk menjawab tantangan zaman.

MOSAIC, GreenFaith Indonesia, dan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menggelar Kajian dengan tema 'Fikih Transisi Energi Berkeadilan' secara daring pada Sabtu (24/5).

Kegiatan yang bertujuan memperkuat peran para ulama muda sebagai garda terdepan dalam advokasi perubahan sosial dan ekologis ini diikuti oleh para alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) dari wilayah Sumatra Barat dan Jawa Barat.

Hening Parlan selaku Koordinator Nasional GreenFaith Indonesia, para ulama memiliki posisi strategis dalam menyampaikan nilai-nilai perubahan kepada umat.

“Kita tahu bahwa lebih dari 82 persen masyarakat Indonesia masih menaruh kepercayaan besar pada para ustadz dan ustadzah. Maka, saat mereka yang berbicara soal krisis energi, gaungnya jauh lebih kuat,” ujarnya.

Dalam sesi utama, Ustadz Qaem Aulassyahied, dosen Ilmu Hadis Universitas Ahmad Dahlan dan anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, menekankan pentingnya transisi energi yang tidak hanya cepat, tetapi juga adil.

Ia memperkenalkan Buku Fikih Transisi Energi yang Berkeadilan, yang telah diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah pada Januari 2025. Buku ini merupakan sebuah hasil ijtihad kolektif Muhammadiyah yang mencoba menjawab tantangan zaman dengan pendekatan fikih kontemporer.

“Transisi energi tidak bisa hanya soal teknologi dan kebijakan,” terang Ustadz Qaem. “Ini tentang mindset, tentang memaknai ulang peran kita sebagai khalifah di muka bumi—yang tak hanya mengambil, tapi juga menjaga dan memelihara,” ungkap Hening. 

Menurut Ustadz Qaem, yang juga merupakan tim penyusun buku Fikih Transisi Energi yang Berkeadilan ini, di dalam proses mengemban memelihara malam, manusia juga diminta mengembangkan, dalam rangka memakmurkan, tidak dalam arti memakmurkan diri sendiri, namun untuk memakmurkan kemaslahatan bersama, sesama manusia, untuk seluruh makluk, dan antar generasi. 

Muhammadiyah, lanjutnya, memiliki tiga kekuatan utama untuk menjawab tantangan ini: kebersamaan (al-quwwah jam’iyyah), pengetahuan (al-quwwah al-‘ilmiiyyah), dan progresivitas (al-quwwah tajdidiyah). “Inilah modal untuk merespons isu-isu global—termasuk krisis energi dan iklim—dengan semangat Islam yang berkemajuan,” katanya.

Krisis Energi dan Panggilan Keadilan

Diskusi ini juga menyoroti tantangan konkret yang dihadapi Indonesia. Pemerintah menargetkan 23 persen bauran energi berasal dari sumber terbarukan pada 2025, namun hingga 2023, angka itu baru menyentuh 13,1 persen. Target jangka panjang, seperti Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 dan skema JETP (Just Energy Transition Partnership), dinilai masih memerlukan dukungan sosial dan keagamaan yang kuat.

Konsep keadilan menjadi benang merah dalam diskusi. Transisi energi yang berkeadilan berarti memastikan tidak ada pihak yang dirugikan—baik secara sosial, ekonomi, gender, maupun ekologis. Ini sejatinya sejalan dengan nilai-nilai Islam, yang menempatkan manusia sebagai khalifah Allah (istikhlaf), pemakmur bumi (isti’mar), dan pelaku ibadah yang merangkul alam sebagai bagian dari penghambaan kepada-Nya.

Saksikan Pembukaan Pelatihan Kader Tarjih Tingkat Nasional Indonesia Bagian Timur