Hari Ibu: Bakti Nasyiah kepada Perempuan dan Anak

Hari Ibu: Bakti Nasyiah kepada Perempuan dan Anak
Ketua Umum PP Nasyiatul Aisyiyah, Ariati Dina Puspitasari/ Foto: Istimewa.

Oleh: Ariati Dina Puspitasari*

Sejarah menuliskan bahwa momentum Hari Ibu di Indonesia berbeda dengan peringatan atau perayaan mother’s day atau Hari Ibu Internasional. Hari ibu di Indonesia diperingati setiap tanggal 22 Desember. Sedangkan Mother’s day di berbagai negara sebagian besar diperingati setiap minggu  kedua atau ketiga di bulan Mei.

Mother’s day di berbagai negara rata-rata memiliki makna yang lebih personal. Di Awal sejarahnya yaitu mengenang perjuangan dan pengorbanan seorang Ibu untuk anak-anaknya pada masa perang saudara dan perang dunia pertama. Orang biasanya memberikan kartu ucapan, bunga, atau hadiah khusus untuk ibunya sebagai bentuk apresiasi dan cinta.

Hari Ibu di Indonesia memiliki makna memperingati awal perjuangan kaum perempuan secara kolektif dalam memperjuangkan hak dan peran perempuan melalui Kongres Perempuan Indonesia I, tanggal 22-25 Desember 1928. Kegiatan ini diikuti oleh 30 organisasi perempuan saat itu, salah satunya ‘Aisyiyah yang diwakili oleh Siti Munjiyah dan Siti Hayinah yang juga menjadi pimpinan dalam Kongres. Penetapan hari Ibu di Indonesia yaitu pada Kongres Perempuan Indonesia ketiga 23-27 Juli 1938, diresmikan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 316 Tahun 1959.

Menilik sejarah, Kongres Perempuan Indonesia memiliki tujuan untuk memperjuangkan emansipasi perempuan khususnya dalam politik dan pendidikan. Hal utama yang dibahas adalah tentang Pendidikan, perkawinan, perlindungan perempuan dan anak. Masyarakat di Indonesia khususnya Perempuan, perlu memperluas wawasan untuk memahami sejarah bangsa. Dalam konteks Hari Ibu, dapat turut memperjuangkan hak dan peran perempuan yang hingga saat ini masih harus dikawal.

Pada Kongres Perempuan Indonesia I, Nasyiatul Aisyiyah saat itu masih bernama Siswa Praja Wanita (SPW) yang merupakan perkumpulan remaja putri, turut memeriahkan dengan bernyanyi dan pentas teater. Nasyiatul Aisyiyah sejak sebelum Kongres Perempuan, Pasca Kongres, hingga saat ini konsisten untuk mengawal dan memperjuangkan perempuan dan anak.

Sejarah Gerakan Nasyiatul Aisyiyah mencatat di tahun 1920-an, SPW terlibat dalam program anti analfabetisme atau pengentasan buta huruf yang diinisiasi oleh ‘Aisyiyah. Usaha pemberantasan buta huruf juga merupakan  hasil Kongres Perempuan Indonesia II 20-24 Juli 1935, dimana setiap anggota kongres memiliki tugas mengajar orang-orang buta huruf. Tahun 1938 SPW mendirikan perpustakaan sebagai sumber informasi bagi para remaja putri yang terbatas akses Pendidikan. Program pemberantasan buta aksara terus dilanjutkan Nasyiatul Aisyiyah selepas memperoleh otonomi tahun 1965. Diketahui bersama saat itu pemerintah mengalami keterbatasan mengakomodasi kepentingan Masyarakat yang belum bisa membaca dan menulis. Sehingga Nasyiatul Aisyiyah mengerahkan seluruh pimpinan dan anggotanya untuk mensukseskan program buta huruf tersebut.

Bahkan Nasyiatul Aisyiyah memasukkan dalam program kerja tahun 1974-1977, dengan sebutan program Pemberantasan 3 Buta. Yaitu buta aksara latin, buta aksara arab dan buta agama. Hingga saat ini, Nasyiatul Aisyiyah mengawal pemberantasan 3 Buta. Buta aksara ini diperluas oleh nasyiatul aisyiyah dengan mengembangkan program rumah literasi Nasyiatul Aisyiyah (RALINA). Literasi dimaknai tidak hanya sebagai proses membaca, literasi merupakan internalisasi atau kesatuan aksi, perbuatan, keputusan seseorang atas suatu masalah yang dipengaruhi dari hasil pembacaannya.

Maka RALINA tidak hanya sebagai ruang untuk membaca buku, namun juga ruang  untuk melakukan pemberdayaan kepada Masyarakat khususnya perempuan dan penguatan karakter anak melalui kegiatan literasi yang dikemas dengan nuansa religious sebagai bentuk dakwah amar makruf nahi mungkar.

Hasil Kongres Perempuan Indonesia I lainnya yaitu mendirikan studifonds untuk gadis-gadis yang tidak mampu dan meminta pemerintah untuk memperbanyak sekolah-sekolah putri. Studifonds adalah bantuan keuangan atau beasiswa di tahun 1900-1930an untuk pelajar pribumi dalam mengatasi hambatan biaya Pendidikan sehingga memungkinkan para siswa menyelesaikan Pendidikan mereka. Gerakan ini merangsang pertumbuhan dan pemetaraan akses Pendidikan di berbagai wilayah Hindia Belanda pada masa Kolonial (Tuahuns dan Fauzia, 2024).  Kita ketahui bersama bahwa Pendidikan masa itu belum banyak berpihak untuk kaum perempuan, apalagi perempuan tidak mampu.

Situasi tersebut menggerakkan Nasyiatul Aisyiyah (SPW) untuk membentuk sekolah-sekolah berdasarkan usia. Jamiatul Athfal (7-10 tahun), Tajmilul Akhlak (10-15 tahun), Tholabus saadah (15-18 tahun). Pada kelompok Jamiatul Athfal pertemuan duakali seminggu dengan aktivitas membaca Al-Quran, menyanyi, kerajinan tangan serta olahraga. Pada kelompok Tajmilul Akhlak, kegiatan diadakan setiap hari Jumat membahas tentang menjadi pribadi yang mandiri, isu-isu aktual, Latihan berpidato, serta keterampilan ringan lainnya seperti memasak, merajut, dan menjahit. Pada kelompok Tholabus Saadah, aktivitas yang dilakukan utamanya berkaitan dengan hukum keluarga, membangun keluarga Sakinah, belajar berceramah serta administrasi organisasI (Syamsiyatun, 2006).

Aktifitas tersebut berkembang seiring berjalannya waktu dengan berbagai modifikasi dalam bentuk-bentuk seperti PAUD Nasyiatul Aisyiyah di berbagai provinsi/kabupaten, PKBM Nasyiatul Aisyiyah, serta pelatihan yang bersifat terstruktur dengan adanya kurikulum maupun yang seminar bersifat insidental untuk merespon isu-isu aktual.

Selain itu pada periode 2022-2026 ini, Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah memiliki program 1000 master dan doktor dan telah dilaunching Baroroh Baried Program (BBP) sebagai pusat persiapan kader Nasyiatul Aisyiyah untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi baik menggunakan beasiswa maupun mandiri. Hal ini juga menunjukkan konsistensi Nasyiatul Aisyiyah dalam mengawal dan memperjuangankan Pendidikan perempuan Indonesia.

Dalam bidang politik, hasil Kongres Perempuan Indonesia IV yang dilaksanakan 25-28 Juli 1941 mendesak kepada Fraksi Nasional dalam Dewan Rakyat dan Gubernur Jenderal hindia Belanda agar hak memilih anggota Dewan Kota dari golongan Indonesia juga diberikan untuk kaum Wanita. Kita ketahui bersama bahwa perjuangan memberikan kesempatan untuk perempuan sebagai penyelenggara negara terus menjadi diskursus setiap proses demokrasi di Indonesia. Nasyiatul Aisyiyah mengawal melalui program sekolah politik dan melakukan advokasi untuk kader-kader Nasyiatul Aisyiyah yang mencalonkan diri sebagai penyelenggara negara atau penyelenggara pemilu.

Hasil-hasil Kongres Perempuan Indonesia yang memastikan keberpihakan terhadap perempuan dalam semua lini, juga terus dikawal oleh Nasyiatul Aisyiyah. Seperti senantiasa mengkampanyekan pencegahan perkawinan anak dan perlindungan kepada perempuan dan anak dari kekerasan, dipaparkan dalam berbagai aktifitas dalam bentuk seminar, tulisan, advokasi termasuk dalam pelatihan paralegal.

Hasil Kongres Perempuan Indonesia II mencanangkan tentang kewajiban Wanita Indonesia menjadi Ibu bangsa yang artinya berusaha menumbuhkan generasi baru yang sadar akan kebangsaannnya. Nasyiatul Aisyiyah senantiasa melakukan edukasi dan advokasi untuk membekali para Ibu muda dan calon Ibu yang akan membentuk generasi masa depan melalui pelatihan-pelatihan, seminar-seminar dan aktifitas bermanfaat lainnya seperti sekolah parenting dan pelatihan persiapan keluarga sakinah (samara course, untuk pasangan calon pengantin).

Nasyiatul Aisyiyah juga memberikan pelayanan dalam bidang kesehatan yaitu pelayanan remaja sehat milik nasyiatul aisyiyah (PASHMINA). Dalam bidang ekonomi dengan menguatkan ekonomi perempuan melalui Badan Usaha Amal Nasyiatul Aisyiyah dan Asosiasi Pengusaha Nasyiatul Aisyiyah. Bahkan dalam bidang lingkungan, Nasyiatul Aisyiyah mengusung Konsep Green Nasyiah. Serta terus berkiprah dalam perdamaian melalui Ecobhineka Nasyiatul Aisyiyah dan forum-forum perdamaian lainnya.

Oleh sebab itu, Hari Ibu 22 Desember bagi Nasyiatul Aisyiyah adalah hari untuk kami sebagai organisasi perempuan muda yang Ramah Perempuan dan Anak dan memiliki tagline Keluarga Muda Tangguh berkontemplasi, melakukan refleksi dan evaluasi diri. Hari ini kami memotret diri kami sejauh apa kami telah memberikan kebermanfaatan untuk bangsa ini khususnya untuk perempuan dan anak di negeri tercinta ini, seraya meresapi dan melakukan perjalanan sejarah atas nilai-nilai yang dibangun para pendahulu.

Artikel ini pernah tayang di muhammadiyah.or.id pada Ahad22 Desember 2024.