Tradisi Literasi Muhammadiyah (Gerakan Subuh Mengaji #32)

Muhammadiyah adalah organisasi dengan lautan literasi. Di Muhammadiyah sangat menjaga sekali tradisi literasi, hingga sekarang. Bahkan sampai kini budaya membaca dan menulis terus digaungkan Muhammadiyah.

Demikian hal itu disampaikan Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI), Roni Tabroni saat menjadi pemateri program Gerakan Subuh Mengaji (GSM) dengan tema “Tradisi Literasi Muhammadiyah” pada Senin (31/1) lalu.

Lebih lanjut, Roni menjelaskan, bahwa tradisi literasi Muhammadiyah dapat dibagi menjadi tiga gerakan utama yaitu, tradisi penerjemahan, dokumentasi di berbagai kegiatan dalam hal administrasi, dan dengan menerbitkan media.

Tradisi penerjemahan dilakukan Muhammadiyah guna memfasilitasi masyarakat pribumi agar bisa membaca buku-buku dari luar negeri yang memang belum ada terjemahannya.

“Banyak buku-buku dari barat termasuk eropa yang tidak bisa dibaca oleh masyarakat pribumi, maka kemudian oleh Muhammadiyah lalu diterjemahkan” urai Roni.

Terkait dokumentasi dan administrasi, Roni mengatakan, Muhammadiyah sejak awal berdiri memiliki kebiasaan untuk mendokumentasikan atau mencatat hasil rapat. Mulai dari daftar peserta yang hadir rapat, hasil rapat, peserta yang tidak hadir, bahkan sampai alasan  mengapa sang peserta tidak hadir pun tak luput jadi catatan.

“Hebatnya lagi, catatan ini begitu rapi dan masih terjaga keasliannya hingga sekarang. Ini menunjukan bahwa sejak awal tradisi Muhammadiyah untuk mencatatkan setiap aktivitasnya sudah dilakukan dengan sangat baik,” tuturnya.

“Bisa dibilang mungkin Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan yang memiliki catatan yang sangat lengkap dan manuskrip yang paling banyak di perpustakaan Arsip Nasional Republik Indonesia, kita bisa berbulan-bulan hanya untuk membaca saja,” sambung Roni.

Terakhir, tradisi literasi Muhammadiyah tumbuh berkembang lewat media. Bentuk literasi melalui media diwujudkan dengan diterbitkannya majalah yang paling pertama dan utama di Muhammadiyah yakni, Suara Muhammadiyah.

“Ini menjadi pembuktian Muhammadiyah sebagai organisasi modern pembaharuan, ketika pada masa itu orang lain entah berbicara apa, Muhammadiyah sudah bicara modernisasi di bidang informasi, yaitu Suara Muhammadiyah.”ucapnya.

Diceritakan Roni, Suara Muhammadiyah muncul pertama kali pada tahun 1915 sebagai media pendukung dalam berdakwah. Sejak awal muncul hingga sekarang majalah Suara Muhammadiyah terus terbit dan masih eksis, bahkan sampai-sampai majalah ini diberikan rekor Muri sebagai Majalah Islam Yang Terbit Berkesinambungan Terlama.

Dalam perkembangannya, muncul pula majalah-majalah lain yang berada di bawah naungan Muhammadiyah. Di antaranya, majalah Menara Koedoes (1925), Suara Aisyiyah (1926), brosur Halal bihalal (1930), Majalah Adil (1932), dan lain-lain.

“Dalam sejarahnya tak kurang ada 32 media yang diterbitkan oleh Muhammadiyah selain Suara Muhammadiyah dan Suara Aisyiyah, yang diterbitkan mulai dari pimpinan pusat, wilayah, daerah, termasuk oleh korkom juga banyak,” ungkap Roni.

Adapun, lanjut dia, ketiga tradisi literasi inilah yang sejak dahulu dikembangkan KH Ahmad Dahlan sebagai strategi dakwah cum pembaharuan di kalangan masyarakat. Sementara itu, tradisi atau kebiasaan-kebiasaan ini mutlak mesti terus diduplikasi dan dijaga kelestariannya sebagai identitas organisasi sekaligus upaya mencerdaskan bangsa. 

Saksikan dialog pembahasan lengkap Roni Tabroni dalam program Gerakan Subuh Mengaji dengan tema "Tradisi Literasi Muhammadiyah" secara streaming di YouTube tvMu Channel dan GSM 'Aisiyah Jawa Barat.

Jangan lewatkan dialog seru lainnya di program Gerakan Subuh Mengaji setiap hari pukul 05.00 WIB di tvMu dan secara streaming di YouTube tvMu Channel dan GSM 'Aisiyah Jawa Barat. Cerdas Mencerahkan.