Keadilan di Tepi Jurang
TVMU.TV - Wajah hukum di Indonesia, akhir-akhir ini, kian menampakkan bopeng dan warna hitam temaram. Lihatlah, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang terpuruk di angka 34 dari skala 100, menempatkan Indonesia jauh di bawah negara-negara ASEAN. Skor IPK Singapura 83, Malaysia memiliki skor 50. Semakin tinggi skor IPK suatu negara, maka masyarakatnya dipersepsikan semakin jujur alias semakin kecil angka korupsinya. Dari 180 negara, Indonesia bertengger di peringkat ke-115. Indonesia lebih korup dibanding negara kecil bekas milik Indonesia, Timor Leste. Posisi Indonesia berada di klasemen bawah, ditemani Ekuador, Malawi, Filipinan, Sri Lanka dan Turki.
Di tengah kondisi keterpurukan ini, sistem penegakan hukum korupsi bukannya menunjukkan tanda-tanda perbaikan, tetapi justru kian memprihatinkan. Lihat saja, kasus mega-korupsi tata kelola tambang timah yang terjadi di PT Timah. 300 triliun uang negara dirampok. Pelakunya hanya dihukum enam setengah tahun saja. Diskon besar-besaran, bahkan ibarat obral nyaris gratisan diberikan kepada terdakwa Harvey Moeis, yang bergelimang harta itu. Tak masuk akalnya, salah satu pertimbangan hukumnya, obral hukuman itu dijatuhkan, karena Harvey Moeis selama persidangan terlihat sopan, dan memiliki tanggungan keluarga. Mengapa tidak dipetimbangkan juga, bahwa Harvey Moeis juga adalah suami seorang artis, sehingga layak dibebaskan, sekalian? Hhhhmmmm.
Vonis relatif ringan Harvey Moeis itu sangat tidak logis, sekaligus ironis, apabila dibandingkan dengan tindakan hukum pada kasus lain. Maling ayam di Tangerang diancam hukuman tujuh tahun penjara. Di bontang, maling ayam, diganjar dengan hukuman dua tahun penjara. Karena itu, wajar saja jika obral vonis ringan pengadilan Tipikor Jakarta itu, memancing reaksi, dari mayoritas masyarakat yang peduli dengan masa depan negeri ini. Beredar aneka mims di masyarakat, mulai dari yang bersifat cibiran, olok-olok, hingga umpatan yang merepresentasikan kekesalan, sekaligus skeptisme, akan masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini. Tak kurang, Mantan Menko Polhukam Mahfud MD, yang marah, gemas, dan menilai vonis ringan itu, tidak logis sekaligus melukai hati rakyat. Rasa keadilan masyarakat ditusuk. Suara bernada marah dan kecewa dari vox pop pun, menggema di seantero negeri.
Dalam pidato pada Perayaan Natal Nasional pekan lalu, Presiden Prabowo Subianto, yang telah disumpah di hadapan tuhan, secara lantang bertekad, dengan kekuatan jiwa dan raga, akan berjuang menjaga segala kekayaan Indonesia. Presiden Prabowo mengajak kepada semua pihak, bagi siapa yang mau membela rakyat, mau menegakkan kebenaran, yang mau menegakkan hukum, yang mau menghilangkan manipulasi dan korupsi, untuk bersatu bersamanya. Menurut presiden, rakyat menuntut pemerintahan yang bersih, dan atas nama rakyat Indonesia, menegaskan, agar seluruh aparat pemerintah, untuk membersihkan dirinya masing-masing.
Kendati tidak dinyatakan secara verbal makna pidato ini berkaitan langsung dengan kasus megakorupsi tata niaga timah 300 triliun dan kasus korupsi lainnya yang menggurita, tetapi cukuplah dipahami, secara semiotis, Presiden Prabowo tak bisa menampik rasa kecewanya atas masalah penggarongan kekayaan negara oleh aksi para kleptokrat. Lebih dari itu, kita layak menunggu aksi nyata, tidak sekedar retorika. Seorang presiden di negara Republik, diibaratkan seorang raja dengan sejumlah pembatasan konstitusi, memiliki kewenangan besar untuk menggerakkan aparatus represifnya, baik melalui jalur legislasi, maupun jalur eksekusi. Bersama DPR, segeralah merevisi undang-undang tindak pidana korupsi, dengan ancaman hukuman paling maksimal, penerapan hukuman mati, misalnya. Wujudkan segera undang-undang perampasan aset, yang memungkinkan koruptor dimiskinkan. Satu lagi, perintahkan kepada aparat penegak hukum eksekutif, untuk tidak main-main dengan keadilan, dan hukum yang mengusik rasa keadilan rakyat. Bersihkan sebersih-bersihnya, seluruh apatatur negara, dari aksi kleptokrasi yang mengancam kebangkrutan negara, seperti yang Presiden Prabowo sendiri tegaskan, pada pidato perdananya tatkala dilantik sebagai presiden, 20 Oktober 2024 lalu.
Dalam perspektif Islam, hadis yang yang diriwayatkan muslim menyebutkan, “barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaknya ia mengubahkan dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaknya ia mengubahnya dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaknya ia mengubahkan dengan hatinya, namun itulah selemah-lemahnya iman”. Dalam hal ini, langkah pertama yang mesti dilakukan seorang presiden untuk memberantas kemungkaran, yaitu korupsi yang merajalela ini, adalah dengan tangannya, alias dengan kekuasaan yang dimilikinya. Kita tunggu saja, aksi nyata presiden kita, untuk menenggelamkan para koruptor yang mengancam membangkrutkan negara. Buatlah bungkam mereka yang menganggap hanya omon-omon semata, dalam pemberantasan korupsi.
Saksikan Tayangan Editorial tvMu 'Keadilan di Tepi Jurang'
Comments (0)