Membudayakan Keadaban Mulia

Membudayakan Keadaban Mulia
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir/ Foto: Istimewa.

TVMU.TV - Umat Islam Indonesia merupakan penduduk mayoritas di negeri ini. Umat Islam membawa misi untuk “menyempurnakan akhlak manusia” sebagaimana  kerisalahan Nabi Muhammad di muka bumi. Berarti, baik buruknya akhlak bangsa, sangat tergantung pada penduduk mayoritas ini untuk terwujudnya keadaban di Republik ini.

Pertanyaannya, apakah umat Islam telah memberi “sibghah” pada keadaban bangsa di negeri ini? Lebih khusus, apakah pribadi-pribadi muslim dan umat Islam secara kolektif telah menjadi uswah hasanah atau teladan yang baik dalam berakhlak atau berkeadaban mulia di tengah perubahan sosial saat ini? Jawaban normatifnya tentu harus positif.

Namun dalam kenyataan masih banyak masalah dan agenda untuk terwujudnya keadaban utama atau akhlak mulia di negeri mayoritas muslim terbesar di dunia ini. Korupsi, kekerasan,  pelanggaran hukum, dan bermacam bentuk penyimpangan perilaku nyatanya masih menjadi masalah serius di Indonesia. Mayoritas pelanggar itu beragama Islam.

Ujaran yang mengandung kekerasan, kebencian, permusuhan, hoaks, fitnah, dan ungkapan-ungkapan kotor masih menjadi pemandangan umum di era media sosial dan relasi kehidupan kemasyarakatan saat ini. Adakah Islam dan umat Islam menjadi uswah hasanah? Lebih khusus, bagaimana warga Muhammadiyah menjadi teladan dalam mempraktikkan perilaku utama atau mulia di masyarakat luas.

Keadaban Umat

Muhammadiyah berkomitmen membangun “Masyarajat Islam yang sebenar-benarnya” sebagai tujuan gerakan. Muhamamdiyah dalam tujuan awalnya ingin mewujudnya “Khaira Ummah” (QS Ali Imran: 110). Ayat ke-110 Surat Ali Imran tersebut menurut KH Syuja’ yang diajarkan Kyai Haji Ahmad Dahlan, yang mengandung tujuan dan proses dalam pembinaan umat dan masyarakat.

Dalam buku “Indonesia Berkemajuan” disebutkan salah satu prasyarat terwujudnya Indonesia Berkemajuan ialah adanya Masyarakat Berkejamuan sebagai bangunan konsep yang melekat dengan ciri “Khaira Ummah”, yang salah satu aspeknya ialah keadaban. Keadaban itu wujud dari akhlak yang teaktualisasi dalam pola perilaku yang luhur atau mulia baik dalam jiwa dan pikiran maupun dalam sikap dan tindakan. Keadaban dalam perilaku individual maupun kolektif. Umat Islam tentu harus menjadi uswah hasanah dalam mempraktikkan keadaban mulia itu.

Disebutkan, bahwa masyarakat berkemajuan adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadaban yang luhur. Keadaban publik dibangun di atas prinsip moral  dengan mengedepankan sikap hidup yang benar, baik, dan patut serta menjauhi perilaku yang salah, buruk, dan tidak patut.

Setiap anggota masyarakat seyogyanya hidup dalam tatanan kehidupan yang menjunjung tinggi pluralitas, toleransi, rasionalitas, keterbukaan, persamaan, taat aturan, menghargai orang lain, menerima perubahan, serta menjamin kemerdekaan berpikir, berbicara, dan berkreasi dalam mencapai kemajuan. Bersamaan dengan itu, setiap anggota masyarakat hendaknya mempersempit kecenderungan eksklusifitas, intoleransi, ketertutupan, sikap merasa benar sendiri, reaktif dalam merespon persoalan, dan mengedepankan kekerasan dalam memecahkan masalah.

Nilai-nilai keadaban publik yang utama itu bersumber dari ajaran agama dan kebudayaan masyarakat Indonesia yang tumbuh-kembang dalam kehidupan sehari-hari. Agama memiliki peran penting dalam membentuk watak dan prilaku setiap warga negara dalam hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Penanaman etika moral agama dalam setiap individu warga bangsa menjadi program yang sangat mendesak untuk dilaksanakan dalam tekonstruksi kehidupan kebangsaan.

Penegakkan norma dan etika agama yang teraktualisasi dalam kehidupan sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya yang mencerahkan kehidupan bangsa harus menjadi gerakan nasional yang masif. Penting untuk dibudayakan bahwa tidak seorangpun calon pemimpin negara dan pejabat publik dapat menduduki jabatan jika yang bersangkutan memiliki rekam jejak dan cacat etika moral yang buruk. Bahwa keadaban publik yang dibangun di atas prinsip nilai dan etika yang utama merupakan lingkungan strategis yang penting untuk dibudayakan menuju terwujudnya Indonesia Berkemajuan.

Warga Muhammadiyah

Umat Islam sebagai penduduk mayoritas dan membawa misi penyempurnaan akhlak mulia semestinya menjadi garda depan dalam membudayakan keadaban publik dalam seluruh aspek kehidupan. Setidak-tidaknya dimulai dari keadaban berujar, menulis,  bersikap, dan bertindak sehari-hari yang menampilkan keteladanan akhlak mulia di ruang publik. Dalam bermedia-sosial yang menjadi bydaya baru juga tampil pesan dan relasi sosial seperti melalui facebook, twitter, istagram, WhatsApp, dan lain-lain yang harus menampilkan kebenaran, kebaikan, kedamaian, kepantasan, dan nilai-nilai Al-Hujarat yang terpuji.

Sebaliknya baik di ruang publik maupun melalui media sosial setiap muslim secara individu  maupun kolektif  mesti menjauhi ujaran, tulisan, sikap, dan tindakan yang salah, buruk, meresahkan, membikin kegaduhan, kejerasan, perseteruan, permusuhan, kebencian, ketidakpantasan, dan hal-hal yang kotor yang menggangarkan akhlak madmumah atau peragai tercela. Perangai buruk itu tidak dilakukan atasnama apapun, apalagi atsanama menegakkan kebenaran serta amar makruf nahi munkar. Menyuarakan kebenaran serta amar makruf nahyu munkar pun harus tetap dengan pesan dan cara yang benar dan makruf.

Alangkah malu dan merusak citra Islam bila muslim dan kelompok muslim menampilkan perangai tercela seperti itu seolah menjadi ciri khas dan kebiasaan dari dirinya. Apalagi  dibiarkan dan malah dibela oleh pihak muslim lainnya karena ada kepentingan yang sama dan atasnama amar makruf nahi munkar. Ketidaksukaan pada kelompok lain yang berbeda kegakinan, orentasi politik, dan lain-lain tetap harus dengan sikap akhlak mulia dan menjauhi akhlak tercela. Sikap politik dan ideologis dalam berislam justru harus ditampailkan dengan berkeadaban mulia, bukan dengan ekstrem dan perilaku tercela.

Khusus bagi warga Muhammadiyah sebagai bagian dari  umat Islam dan bangsa Indonesia tentu dituntut menjadi teladan yang baik atau uswah hasanah dalam mengamalkan perilaku berkeadaban mulia. Jika warga atau kader dan pimpinan Muhamamdiyah berkomitmen dalam berdakwah amar makruf nahi munkar, maka mulai dari diri sendiri dilanjutkan dengan mewujudkan dalam kehidupan bersama. Beramar makruf nahi munkar pun dilakukan dengan materi dan cara yang makruf serta sejalan Kepribadian, Khittah, dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah.

Dunia media sosial di kalangan warga Muhammadiyah juga penting untuk dihiasai dengan uswah hasanah yang berwajah akhlak mulia. Apalagi Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah yang hikmah, mauidhaatul hasanah, dan mujadalah yang ihsan mempraktikkan Surat An-Nahl ayat 125. Warga Muhammadiyah yang dikenal cerdas mesti menjadi penggerak dan teladan dalam bermedia sosial yang maju dan mencerahkan. Tidak menyebar hoaks dan postingan atau pesan-pesan yang tecela, memancing amarah, meresahkan, menebar kebencian dan permusuhan, serta hal-hal yang tidak terpuji.

Dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) bidang akhlak disebutkan. Pertama, Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk meneladani perilaku Nabi dalam mempraktikkan akhlaq mulia, sehingga menjadi uswah hasanah yang diteladani oleh sesama berupa sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Kedua, setiap warga Muhammadiyah dalam melakukan amal dan kegiatan hidup harus senantiasa didasarkan kepada niat yang ikhlas dalam wujud amalamal shalih dan ihsan, serta menjauhkan diri dari perilaku riya’, sombong, ishraf, fasad, fahsya, dan kemunkaran.

Ketiga, setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk menunjukkan akhlaq yang mulia (akhlaq al-karimah) sehingga disukai/diteladani dan menjauhkan diri dari akhlaq yang tercela (akhlaq al-madzmumah) yang membuat dibenci dan dijauhi sesama. Keempat, setiap warga Muhammadiyah di mana pun bekerja dan menunaikan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari harus benar-benar menjauhkan diri dari perbuatan korupsi dan kolusi serta praktik-praktik buruk lainnya yang merugikan hak-hak publik dan membawa kehancuran dalam kehidupan di dunia ini. (Haedar Nashir)

Artikel ini pernah dimuat di Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 21 Tahun 2021