Haedar Nashir Tegaskan Sikap Muhammadiyah Tetap Kritis Terhadap Kebijakan Nasional, Namun Tidak Bersifat Oposan

Haedar Nashir Tegaskan Sikap Muhammadiyah Tetap Kritis Terhadap Kebijakan Nasional, Namun Tidak Bersifat Oposan
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam orasi ilmiah bertema “Visi dan Misi Pendidikan Indonesia” pada Lustrum ke-12 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UNISBA, Selasa (20/12). Foto: Tangkap layar YouTube tvMu Bandung.

TVMU.TV - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir menegaskan sikap Muhammadiyah tetap kritis dalam mengawal setiap kebijakan pemerintah, termasuk dalam bidang pendidikan.

Meskipun kritis, ia mengatakan sikap ini tidaklah bersifat oposan, apalagi primordial dan patrialistik. Haedar menegaskan sikap Muhammadiyah semata-mata bersifat akademis untuk menjaga agar jalur kebijakan pemerintah selalu berada di atas rel konstitusi.

Hal itu disampaikan Haedar dalam orasi ilmiah bertema “Visi dan Misi Pendidikan Indonesia” pada Lustrum ke-12 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UNISBA, Selasa (20/12).

Pada bidang pendidikan misalnya, ujar dia, Muhammadiyah secara detail mengkritisi produk seperti Rancangan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2035 hingga Peta Jalan Indonesia 2045 yang dinilai disorientatif karena luput memperhatikan aspek imaterial seperti nilai agama dan kebudayaan luhur bangsa.

Lebih lanjut, Haedar menjelaskan bahwa pada produk kebijakan pendidikan nasional itu, umumnya diketahui terlalu mengedepankan aspek rasional-instrumental saja.

Padahal, lanjutnya, aspek yang bersifat nilai seperti agama (iman, takwa, akhlak mulia) dan nilai kebudayaan secara integral masuk dalam distingsi pendidikan nasional sebagaimana pada Pasal 31 UUD 1945 ayat 3 dan 5 serta Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

“Kewajiban pemerintahan dan kementerian semestinya mengelaborasi, mengaktualisasikan dan mentransormasikan nilai-nilai itu di dalam kebijakan yang kebijakan itu baik yang berjangka menengah atau berjangka panjang tidak boleh bertentangan (dengan konstitusi),” terang Haedar.

“Maka ketika sempat hilang frasa agama dan kata agama bukan soal kita berfikir ekslusif dan berpikir patrimornialistik atau primordialistik, tapi kita berpikir dalam konstitusi bahwa agama, nilai agama, kebudayaan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia itu sudah menjadi satu kesatuan dari nilai pendidikan Indonesia,” jelasnya.

VIDEO: Susunan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2022-2027