Siapa Pengendali Media di Indonesia? Menimbang Etika dan Kuasa di Balik Layar Industri Media Dalam Negeri

Oleh: Helga Irena Pratiwi*
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti” - QS. Al Hujurat: 6.
Ayat ini mengajarkan bahwa menerima dan menyebarkan informasi tidak boleh langsung disebarkan begitu saja. Dalam situasi media Indonesia saat ini, ajaran ini sangat relevan. Media tidak selalu netral. Ia berada dalam pusaran kekuasaan ekonomi, kepentingan politik, dan algoritma digital yang sering kali menyingkirkan kebenaran yang sebenar-benarnya demi keuntungan atau popularitas.
Jika kita kritisi dari pendekatan Ekonomi Politik Kritis Media, terlihat bagaimana media dijalankan dan dikendalikan oleh kepentingan tertentu. Siapa pemiliknya? Siapa yang membiayainya? Untuk kepentingan siapa informasi dibentuk? Pertanyaan-pertanyaan ini penting agar media tidak berubah menjadi alat propaganda, melainkan tetap menjadi sarana pencerahan yang bermartabat. Ini tentu sejalan dengan misi Islam sebagai agama yang menjunjung amanah, keadilan, dan tanggung jawab sosial.
Kepemilikan Terkonsentrasi, Informasi Tidak Netral
Di Indonesia, beberapa konglomerasi menguasai mayoritas media, seperti MNC Group, Emtek, Trans Corp, dan lainnya. Saat satu pihak mengendalikan informasi, potensi penyimpangan menjadi besar. Dalam Islam, menyampaikan berita yang benar adalah bagian dari amanah, seperti firman Allah pada surat Al Ahzab ayat 70. Jika media dikuasai oleh pemilik yang juga terlibat dalam politik atau bisnis besar, maka independensi redaksi dikhawatirkan menjadi lemah.
Ketergantungan pada Iklan: Ujian bagi Etika Media
Banyak media hidup dari iklan perusahaan besar atau dukungan pemerintah. Ini memengaruhi keberanian media dalam memberitakan sesuatu yang menyangkut pengiklannya sendiri. Konsep hisbah dalam Islam mengajarkan bahwa mengoreksi kesalahan dalam masyarakat adalah kewajiban. Tapi ketika media terlalu bergantung pada kepentingan finansial, idealisme sebagai kontrol sosial pun berisiko terdistorsi.
Media Sosial dan Sensasi: Kemenangan Emosi atas Etika
Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube bekerja berdasarkan algoritma semakin heboh, semakin banyak insight audiens. Akibatnya, informasi palsu dan konten sensasional sering kali lebih cepat viral dibandingkan berita faktual. Padahal, Islam menekankan tanggung jawab dalam setiap ucapan dan penyampaian informasi, bahkan dalam konteks hiburan dan opini publik.
UU ITE dan Pers: Di Antara Kritik dan Kriminalisasi
Selain tekanan ekonomi, media juga menghadapi tekanan hukum. Dalam beberapa kasus, Undang-Undang ITE kerap digunakan untuk menjerat jurnalis dan aktivis. Padahal dalam Islam, menyampaikan kebenaran adalah bagian dari dakwah dan bentuk perjuangan mulia dalam membela keadilan dan kebenaran. Tapi tentu, semua harus disampaikan dengan adab, bukti, dan kearifan.
Menyatukan Etika Islam dan Kritik Media
Pendekatan ekonomi politik kritis mengajarkan kita untuk melihat media sebagai bagian dari sistem sosial dan kekuasaan. Dalam Islam, kita diajarkan untuk menimbang setiap kata dan pesan dengan takwa, bukan sekadar keuntungan. Titik temu antara teori kritis dan nilai-nilai Islam ada pada prinsip tanggung jawab sosial media bahwa, media harus membangun peradaban, bukan memecah belah umat.
Media sebagai Ladang Amal
Media bukan sekadar industri informasi. Ia bisa menjadi jalan dakwah, amar ma’ruf nahi munkar, dan pendidikan umat. Kita butuh media yang jujur, adil, dan berani menyuarakan kebenaran. Dalam konteks ini, media Islam TV Muhammadiyah memiliki peran penting sebagai penyeimbang arus utama, sekaligus mencerahkan akhlak publik.
Sebagaimana pesan Nabi Muhammad SAW, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (Hadis Riwayat Muslim) Maka dalam hal ini, media pun harus mengedepankan nilai sosial, keadilan, dan tanggung jawab, bukan sekadar kecepatan dan sensasi.
*Penulis merupakan mahasiswi Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Comments (0)