Sejarah Pendidikan Muhammadiyah dari Masa ke Masa

Sejarah Pendidikan Muhammadiyah dari Masa ke Masa
SD Muhammadiyah Pawiyatan Kauman/ Foto: Istimewa.

TVMU.TV - Peran Muhammadiyah di bidang pendidikan sepertinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan ribuan lembaga pendidikan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, membuktikan Muhammadiyah berperan nyata dalam dunia pendidikan. 

Seperti yang kita tahu Muhammadiyah merupakan salah satu organisasi Islam terbesar yang ada di Indonesia. Terlebih lagi Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim tebesar di dunia, maka tidak heran jika Muhammadiyah dapat menjadi organisasi terbesar khususnya di Indonesia. 

Muhammadiyah sendiri didirikan oleh Muhammad Darwis atau lebih dikenal dengan KH. Ahmad Dahlan, salah satu tujuannya yakni untuk memurnikan ajaran Islam dengan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. 

Gerakan Pendidikan Muhammadiyah dalam perkembangannya mengalami dinamika, seperti masa perintisan (1900-1923), masa pengembangan (1923-1970), masa pelembagaan (1970-1998), dan masa transformasi (1998-Sekarang). 

Berikut cuplikan sejarah pendidikan Muhammadiyah dari masa ke masa: 

1. Masa Perintisan (1900-1923) 

Perintisan adalah masa di mana KH. Ahmad Dahlan berusaha mencari konsepsi baru sistem pendidikan alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan kehidupan kaum pribumi seperti kebodohan, kemelaratan, dan kemunduran. 

Tanggal 1 Desember 1911 merupakan tonggak awal berdiri sekolah Muhammadiyah. Saat itu, KH. Ahmad Dahlan merintis dan membuka Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah di ruang tamu rumah miliknya di Kauma, Yogyakarta. 

Setahun kemudian, tepatnya 18 Nopember 1912, suami dari Nyai Siti Walidah ini lantas mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah, yang awalnya dimaksudkan untuk menjamin keberlangsungan lembaga pendidikan yang baru didirikannya. 

Sebelum mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, KH. Ahmad Dahlan dihadapkan dengan dualisme sistem pendidikan antara pendidikan sekuler dan pendidikan religius. 

Kolonial Belanda kala itu menempatkan pendidikan Barat sebagai senjata penjajahan baru. Sementara kaum santri tetap bertahan dengan pondok pesantren, serta menolak dan mengharamkan pendidikan Barat. 

Akhirnya, KH. Ahamd Dahlan memutuskan untuk bereksperimen dengan merintis sistem pendidikan Islam baru, yaitu dengan mendirikan “Sekolah Agama Modern” bernama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. 

Konsep sekolah tersebut mengadopsi sistem persekolahan Barat-Belanda, hal ini untuk mendinamisir lembaga pendidikan Islam. 

Selanjutnya pada tahun 1918, KH. Ahmad Dahlan kembali merintis sekolah menengah bernama Al-Qismul Arqo, lalu dua tahun kemudian berganti nama menjadi Pondok Muhammadiyah. 

Awalnya, model pendidikan baru yang ditawarkan KH. Ahmad Dahlan ini mendapat reaksi keras dari kaum santri, karena dianggap “kebelanda-belandaan” dan dapat merusak struktur pendidikan Islam. 

Meski dapat penolakan, hal itu tak membuat KH. Ahmad Dahlan bergeming, apalagi menggugurkan langkahnya. Ia pun justru semakin tertantang untuk menggerakkan dan memperluas kancah dakwahnya. 

KH. Ahmad Dahlan berkeyakinan, eksperimen “Sekolah Agama Modern” yang di inisiasi olehnya merupakan senjata pamungkas untuk mengemansipasi dan memajukan kaum pribumi agar dapat keluar dari pusaran kebodohan, kemelaratan, dan keterbelakangan. 

Saat dirinya wafat, tahun 1923, eksperimen sistem pendidikan baru yang dirintisnya pun berkembang hingga keluar Yogyakarta, bahkan sudah tersebar di berbagai daerah di luar pulau Jawa. 

2. Masa Pengembangan (1923-1970) 

Masa pengembangan ini bermula ketika KH. Ahamad Dahlan telah wafat sekaligus tumbangnya Orde Lama dan kemunculan Orde Baru. 

Situasi kala itu diwarnai dengan meletusnya perang kemerdekaan dan pergolakan sosial-politik yang berkepanjangan, sehingga urusan pendidikan belum menjadi hal yang utama bagi pemerintah maupun masyarakat. 

Persoalan dualisme pendidikan antara pendidikan sekuler (sekolah umum) dan pendidikan keagamaan (pondok pesantren) masih menjadi isu penting. 

Namun, penolakan terhadap pendidikan Barat-sekuler mulai mengendor, karena secara perlahan kaum santri dapat menerima pembaruan. 

Problematika dan tantangan baru pun kembali datang saat sistem pendidikan baru mulai diterima santri. Kali ini, sekolah Muhammadiyah harus berhadapan dengan kompetitor baru dari sesama lembaga pendidikan Islam. 

3. Masa Pelembagaan (1970-1998) 

Masa pelembagaan ini berlangsung sepanjang pemerintah Orde Baru, kondisi politik yang stabil membuat proses pembangunan (ekonomi) terstruktur, termasuk pembangunan di bidang pendidikan. 

Secara umum, arah kebijakan pendidikan pemerintah bercorak sentralistik dan menempatkan sekolah yang dikelola oleh pemerintah menjadi tolak ukur atau indikator mutu. 

Sekedar contoh, akreditasi hanya dilakukan kepada sekolah swasta, dan kualifikasi tertinggi mutu sekolah swasta adalah “disamakan” mutunya dengan sekolah negeri. 

Bertepatan dengan hal itu, terjadilah proses pengembangan dan peluasan sekolah Muhammadiyah yang tersebar ke seluruh penjuru di Tanah Air, bahkan daerah-daerah di mana pemerintah kesulitan mendirikan sekolah. Tapi, Muhammadiyah dengan kekuatan swadaya masyarakat dapat menembus hal tersebut. 

Proses peluasan dan penyebaran sekolah Muhammadiyah yang begitu masif ini kemudian memunculkan problem baru, di mana tata kelola dan pola budaya sekolah Muhammadiyah mengikuti pola pengembangan sekolah negeri (pemerintah). 

Eksperimen “Sekolah Agama Modern” KH. Ahamad Dahlan di awal abad ke-20 dengan formula “sekolah pemerintah plus agama” telah terlembagakan sedemikian rupa dan semakin dinamis. 

Dalam situasi itu, sekolah Muhammadiyah menjadi alternatif dengan menawarkan sekolah plus agama, dan memperluas akses pendidikan anak bangsa di daerah-daerah yang belum terjamah oleh sekolah negeri. 

4. Masa Transformasi (1998-Sekarang) 

Awal masa ini sejak Orde Baru berakhir, kemudian disusul dengan gerakan reformasi. Tak seperti sebelumnya, pada era Reformasi arah kebijakan pendidikan pemerintah bercorak desentralistik-populis, seperti wacana sekolah gratis dan berdirinya unit sekolah baru di daerah-daerah yang dahulu belum terjamah oleh sekolah negeri, sehingga daya tampung sekolah pemerintah meningkat. 

Situasi tersebut menjadi tantangan yang rumit bagi sekolah Muhammadiyah (juga sekolah swasta lain) yang mengharapkan “luapan siswa” yang tidak tertampung di sekolah negeri. 

Dampaknya , terjadi penurunan siswa secara drastis di sekolah swasta pada jenjang pendidikan menengah khususnya daerah perkotaan, yang mengharapkan luapan siswa sekolah negeri. 

Secara sosiologis, sekolah Muhammadiyah di perkotaan (urban) dan sub-urban juga dihadapkan dengan kemunculan sekolah swasta Islam baru yang menawarkan model-model pendidikan alternatif yang menyasar keluarga kelas menengah muslim. 

Maka dari itu, sekolah Muhammadiyah di masa transformasi ini dihadapkan pada dua tantangan sekaligus. Pertama, secara vertikal berhadapan dengan kebijakan pendidikan populis-desentralistik dengan isu sekolah gratis. Kedua, secara horizontal berhadapan dengan kompetitor baru yang memperebutkan kaum muslim menengah ke atas. 

Menghadapi persoalan di atas, sekolah Muhammadiyah harus berani keluar dari zona “pelembagaan”, “pemapanan”, “aman” yang telah membirokrasikan sekolah sebagaimana rupa untuk kemudian bertransformasi menjadi sekolah berkemajuan (the improving school/modern school) yang menjanjikan masa depan dengan jalan menemukan kembali nilai-nilai keunggulan Persyarikatan. 

Wujud sekolah berkemajuan yang merupakan produk dari proses transformasi ini memiliki banyak wajah sesuai kebutuhan masyarakat sekitar, namun tetap mengedepankan pada mutu layanan yang prima.

Ikuti berita tentang Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah lainnya di Google News. Jangan lupa subscribe juga channel youtube tvMu Channel dan aktifkan lonceng supaya kamu dapat notifikasi video terbaru langsung. Cerdas Mencerahkan.