Abdul Mu’ti Sebut Masa Jabatan Presiden Tiga Periode Jauh dari Moralitas
Wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden kembali jadi perdebatan serta menuai pro kontra.
Menurut Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti wacana tersebut bisa dilakukan secara formal-konstitusional, namun hal ini jauh dari etika moralitas konstitusi.
Demikian hal ini diungkapkan Mu’ti dalam forum webinar Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia, Rabu (9/3) lalu.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, UUD 1945 disebutkan bahwa pasal-pasal konstitusi tidak bisa dipahami secara terpisah dari teksnya saja. Maka dari itu, lanjut dia, harus dipahami dengan suasana kebatinan.
“UUD negara manapun tidak bisa dimengerti jika hanya dibaca teksnya saja. Untuk mengerti sungguh-sungguh maksudnya UUD dari suatu negara, kita harus mempelajari bagaimana terjadinya teks itu, harus diketahui keterangan-keterangannya, dan harus diketahui dalam suasana apa teks itu dibikin,” jelas Mu’ti.
Dengan demikian, Mu'ti mengatakan, penetapan masa jabatan presiden dan wakilnya selama dua periode dalam amandemen UUD 1945 tidak terlepas dari semangat reformasi.
“Karena ada Presiden Bung Karno memimpin sangat lama kemudian ada Pak Harto yang juga memimpin sangat lama. Nah suasana kebatinan dan semangat reformasi ini adalah bagian tak terpisahkan dari lahirnya amandemen UUD 1945 khususnya terkait pasal yang berkaitan dengan masa jabatan presiden. Karena itu kalau kita mau bicara dari sisi teksnya saja, ya masih bisa ditafsirkan sana sini,” jelasnya.
Ia pun menegaskan, maka suasana kebatinan dan kejiwaan serta konteks di luar teks formal yang menjadi latar belakang lahirnya pasal-pasal dalam amandemen UUD 1945 itu tidak boleh dilepaskan.
“Nah suasana kebatinan itu adalah jiwa dari suatu UUD. Suasana kebangsaan itu adalah ruh yang menjadi landasan mengapa sebuah UU itu disusun dan mengapa teks atau redaksinya itu berbunyi sesuai dengan di UUD itu,” sambungnya.
Lalu, Mu'ti menilai dari pemahaman yang utuh terhadap teks dan konteks penyusunan UUD, wacana hingga aksi amandemen UU untuk mewujudkan perpanjangan masa jabatan Presiden terbuka untuk dilakukan, tetapi melabrak norma kepatutan.
“Marilah kemudian kita meninggalkan legacy yang baik sebagai pendidikan dan keteladanan bagi putra-putri bangsa. Jangan sampailah bangsa kita terutama generasi muda ini mempelajari sejarah yang tidak baik dari para pemimpinnya dan kemudian sejarah kita ini harus kita koreksi berkali-kali hanya untuk menyelamatkan seseorang yang mungkin orang itu sedang berkuasa, atau orang itu sedang turun dari kekuasaan,” tandasnya.
Comments (0)