Penjelasan Abdul Mu'ti Soal Moderasi Beragama

Penjelasan Abdul Mu'ti Soal Moderasi Beragama
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti dalam acara bedah buku “Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya” di Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (9/12). Foto: Kemenag.

TVMU.TV - Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti menegaskan bahwa penguatan moderasi beragama adalah sebuah proses yang harus dilakukan bersama-sama oleh seluruh elemen masyarakat sehingga menjadi sebuah gerakan.

Hal itu disampaikan Mu’ti saat menjadi berbicara dalam acara bedah buku Menteri Agama 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin berjudul “Moderasi Beragama: Tanggapan atas Masalah Kesalahpahaman, Tuduhan, dan Tantangan yang Dihadapinya” di Ciputat, Tangerang Selatan, Jumat (9/12).

Menurut dia, moderasi beragama sebagai sebuah gerakan harus menyentuh aspek mindset atau cara pandang. Jadi, bagaimana masyarakat memahami moderasi beragama dari sudut pandang yang bisa dilihat dari berbagai perspektif. 

Mu'ti menjelaskan moderasi beragama memiliki kerangka konseptual, bahkan kerangka teologis yang ada pada agama-agama di Tanah Air.

Dalam konteks Islam misalnya, ia mengatakan moderasi beragama dikaitkan dengan Wasathiyah Islam yang juga menjadi program besar bangsa Indonesia setelah Bogor Message pada 2018.

“Membangun mindset ini memberikan konstruksi bahwa moderasi beragama itu built in dalam ajaran agama, bukan diimpor dari luar agama. Apalagi dipaksakan oleh kepentingan tertentu. Pak LHS secara arif telah menjelaskan konstruksi moderasi beragama itu,” jelas Mu'ti.

Selain mindset, Mu'ti mengatakan aspek penting lainnya dalam moderasi beragama adalah membangun ruang perjumpaan sebanyak-banyaknya di antara kelompok berbeda. Dia menilai ruang perjumpaan itu menjadi pintu di mana moderasi beragama menjadi gerakan sosial dan keagamaan. 

“Dengan ruang perjumpaan, banyak kesempatan kita membangun ruang dialog. Dengan bertemu, kita bisa mendiskusikan beragam hal,” terangnya. 

“Dengan ada ruang dialog itu, maka ada tiga proses penting di dalamnya, yaitu listening atau mau mendengar, sharing atau kesempatan menyampaikan pandangan, serta understanding atau saling memberikan pemahaman,” lanjutnya.

Setelah itu, Mu’ti menegaskan, ada sejumlah hal yang memang tidak semua orang bisa bersetuju. Misalnya, pada aspek yang berkenaan dengan perbedaan fundamental antar agama maupun intern agama.

Meski demikian, Mu'ti mengatakan ada juga ruang yang semua orang bisa bersama, yaitu ruang universal. Di sinilah perlu dibuka ruang perjumpaan dan dialog.

“Perlu ada ruang dialog sehingga bisa saling memahami apa yang selama ini menjadi sumber kesalahpahaman. Ini perlu diperbanyak,” tandasnya.

Dikatakan Mu'ti, moderasi beragama juga meniciptakan ruang inklusi. Beliau menilai Lukman Hakim Saifuddin cukup berani saat menjadi Menteri Agama, dengan membuka ruang inklusi bagi pemeluk agama Bahai misalnya. 

“LHS cukup berani dalam menegaskan eksistensi kelompok itu. Dengan MB, siapapun tidak boleh merasa takut dengan keyakinannya. Negara tidak punya otoritas untuk menentukan agama sah dan tidak sah. Tidak ada istilah agama diakui dan tidak diakui oleh negara,” urainya.

“MB meniscayakan adanya inklusi di mana agama tidak bisa dikuantifikasi. Saya tidak setuju istilah mayoritas dan minoritas. Sebab, keyakinan sangat personal, tidak bisa dikuantifikasi. Sebab, kuantifikasi itu alat politik,” tambah Mu'ti.

Mu’ti mengakui bahwa tantangan yang dihadapi dalam penguatan moderasi beragama itu tidak ringan. Namun, penguayan moderasi beragama tetap harus menjadi on going process. Sehingga, penguatan moderasi beragama tidak boleh dan tidak harus menjadi program pemerintah, meski masuk dalam RPJMN. 

“Penguatan moderasi beragama semestinya menjadi bagian dari gerakan sosial,” tegasnya.

VIDEO: Moderasi Beragama dalam Perspektif Muhammadiyah